Pages

Sunday, July 18, 2010

Kebon Sirih dan Pertahanan Van den Bosch

Kebon Sirih dan Pertahanan Van den Bosch
Alwi Shahab
Wartawan Republika
Kampung Kebon Sirih, Jakarta Pusat, diabadikan akhir abad ke-19 atau lebih dari 100 tahun lalu. Tampak sebuah delman dengan santai tengah melintas di jalan sunyi dan lengang. Tentu saja kita tidak akan mendapati lagi kawasan semacam ini di Jakarta. Jalan Kebon Sirih sendiri di hampir semua jurusannya–seperti juga ditempat lain di Ibu Kota—tiap hari tidak luput dari kemacetan.
Kebon Sirih merupakan pemekaran Kota Batavia ke arah selatan. Pada 1890 Gubernur Jenderal Van den Bosch membuat garis pertahanan yang disebut Defensielijn Van den Bosch di sekitar wilayah Gambir (Koningsplein) atau Monas. Untuk itu, dia membangun benteng yang dipusatkan di Prince Frederick Citadel yang kini menjadi Masjid Istiqlal. Sebelumnya benteng itu merupakan
bagian dari Wilhelmina Park (Taman Wilhelmina), mengabadikan nama nenek dari Ratu Belanda sekarang ini. Garis Pertahanan Van den Bosch yang disebut Weltevreden (daerah yang lebih nyaman) dibandingkan kawasan ‘kota tua’. Van den Bosch terkenal dengan politik tanam paksa.
Kebon Sirih
Kebon Sirih dan pertahanan Van den Bosch [Foto : YAYASAN CIPTA LOKA CARAKA]
Keberadaan Kebon Sirih baru dikembangkan tahun 1853 atau sekitar satu setengah abad lalu. Namanya diabadikan dengan adanya kebun sirih di kawasan ini. Daun sirih sampai tahun 1960-an merupakan kebiasaan para ibu di Indonesia untuk mengunyahnya setelah diberi gambir dan kapur barus. Dulu banyak penjual sirih berkeliaran di Jakarta yang kini sudah tidak kita jumpai lagi. Di rumah-rumah ketika itu tersedia ‘tempolong’ tempat meludah para penyirih yang warnanya kemerahan.
Kebon Sirih dan jalan-jalan di sekitar Gambir (Koningsplain) merupakan permukiman elite di
Weltevreden. Menurut Adolf Heyken SJ penulis Sejarah Jakarta, daerah Weltevreden di sekitar Medan Merdeka dikembangkan dalam gaya Jawa dengan rumah dan kebun (taman) yang luas. Sedangkan ‘kota’ atau Batavia (kini dikenal dengan istilah kota tua) dengan rumah-rumah yang rapat merupakan gaya Belanda (gesloten bouwwijse). Dan bangunan di Menteng mengikuti pola Weltevreden, walaupun tanahnya lebih terbatas.
Pusat kolonial ini kemudian menjadi poros lingkaran konsentrasi pengembangan wilayah Jakarta yang kita kenal dengan Gambir (kini Monas), Menteng, Gondangdia, Menteng Pulo, Gunung Sahari, dan lingkunan Kemayoran. Bahkan, kemudian sampai Jatinegara yang dibentuk sebagai Stadgemeente Meester Cornelis. Dalam tahun 1935 dalam rangka pemekaran masih mengarah lebih jauh lagi ke wilayah Bogor yang disebut Stadsgemeenter Buitenzorg.
Batavia pada awal abad ke-20 berhasil mendesakkan kembali pamor namanya sebagai ‘Ratu dari Timur’. Dengan demikian, merupakan godaan besar bagi Jepang untuk merebutnya yang dibuktikan saat Perang Dunia II (1942-1945). Malahan pengunjung-pengunjung dari Inggris menganggap Weltevreden cukup baik jika dibandingkan dengan Singapura, yang waktu itu dan juga kini merupakan kota yang patut dipamerkan di daerah khatulistiwa.
Di gedung DPRD DKI Jakarta yang terletak di Kebon Sirih tempat wakil rakyat daerah pemilihan mengadakan sidang-sidang, Gedung ini terletak di bagian belakang dari Balai Kota di Jalan Medan Merdeka Selatan. Di jalan yang berdekatan dengan pertokoan Jl Sabang juga terdapat kantor Dewan Pers. Sudah tidak kita jumpai lagi rumah-rumah penduduk di jalan ini.***
***disadur dari sebuah tulisan di harian republika



Sumber : http://infokito.net/index.php/kebon-sirih-dan-pertahanan-van-den-Boscb

No comments: